Demokrasi di Perguruan Tinggi Terancam!
Oleh: Abd. Aziz
Advokat, Legal Consultant, Lecture, Mediator, & CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
Pekan lalu, terdengar bunyi Bell rumah beberapa kali. Telepon genggam yang ada di meja kerja pun, berdering tanpa henti. “Ada tamu,” gumam dalam hati.
Ketika membuka WhatsApp dan mengangkat handphone, sungguh terkejut. Jujur, antara percaya dan tidak percaya, bercampur jadi satu. Surprise! Dosen senior hendak silaturrahim pada eks mahasiswa-nya. Penulis kedatangan pembina mata kuliah Hukum Waris, yang tak lain Profesor Kasuwi Saiban, Kamis (1/6) pagi.
Penulis mempersilakan masuk guru besar Fakultas Hukum Universitas ternama di Kota Malang, Jawa Timur ini. Kemudian, bersama meneguk minuman, yang terbuat dari biji kopi terbaik, ekstrak ginseng, cordyceps, ekstrak guarana, dan lutein, yang dikenal sebagai kopi-nya para raja dengan penggilingan delapan belas kali.
Apa gerangan pembicaraan? Membincang tema ringan, bagaimana sejatinya akademisi melaksanakan tridharma Perguruan Tinggi, tipologi pemimpin kampus yang dicintai sivitas akademika karena integritasnya hingga isu kebangsaan yang tergolong berat, bagaimana merawat demokrasi di Kampus, dikupas tuntas dalam waktu yang tidak singkat.
Sebagai tuan rumah, dan pegiat demokrasi di Perguruan Tinggi, tertarik berbicara tema yang mulai ramai didiskusikan di banyak forum ilmiah di mana penulis kerap didapuk sebagai pembicara.
“Dewasa ini, demokrasi di Perguruan Tinggi di Indonesia kian terancam seiring tak sedikit seorang pemimpin kampus yang tidak rela meninggalkan kursi empuknya walaupun sudah menjabat dua periode, tiga bahkan lebih,” ungkap penulis mengawali pembicaraan.
“Padahal, ciri utama suatu kampus disebut maju adalah merawat demokrasi demi progresivitas institusinya. Hal utamanya ditandai oleh terbukanya kran aspirasi, seperti adanya dinamika pergantian pemimpin sehingga tiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam menguji kompetensi leadership-nya,” tambah penulis, yang sudah lama gelisah menyaksikan praktik pelanggengan kekuasaan di dunia kampus.
“Hemat saya demikian. Kampus merupakan kawah chandradimuka pengetahuan yang menyuguhkan disiplin ilmu agar seseorang memiliki spesifikasi keilmuan dan kematangan profesional dalam lingkungan akademik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” respon dosen senior, yang tercatat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kota Malang, Jawa Timur ini.
“Karenanya, berkorelasi dengan perbincangan ini, guna mewujudkan visi dan misi suatu kampus, mutlak diperlukan pergantian pemimpin secara periodik sesuai aturan agar proses kreatif dalam penyelenggarakan pendidikan di Perguruan Tinggi berjalan dengan baik dan dinamis,” tandas Pendiri STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang, besutan Kiai Hasyim Muzadi (alm), Ketua PBNU Periode 2000-2010 ini.
“Kampus yang progresif adalah yang menerapkan sistem yang terencana, terukur, dan terprediksi dalam mengatur periodisasi kepemimpinan. Sebaliknya, kampus yang sekadar mengaku maju adalah yang abai dan dengan sengaja menghilangkan sistem pergantian kepemimpinan dengan dalih demi berjalannya program yang berkelanjutan,” kata penulis sembari menghisap jamu bakar, yang asapnya ramah lingkungan.
“Lebih celaka lagi, tiap menjelang berakhirnya suatu jabatan, masuk ujung periode, dibangunlah narasi menyesatkan yang kerap kita dengar seolah benar. Misalnya, jika berganti pemimpin, kampus ini akan mengalami kemunduran karena pemimpin yang saat ini menjabat sudah membuktikan kerja keras-nya dalam mempertahankan reputasi dan bergelimang prestasi,” urai penulis pada pria kalem, yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Malang ini.
“Memang. Berbicara kepemimpinan suatu kampus, ideal-nya terjadi regenerasi kepemimpinan dari masa ke masa. Tidak stagnan! Dengan demikian, para insan akademis terbaik dapat menguji integritas, kapasitas, dan kredibilitasnya dalam berkontribusi pada institusi,” harap dosen yang dikenal sabar dalam mengajar mahasiswanya ini.
“Jabatan itu amanah, yang menuntut pertanggungjawaban, terutama di akhirat nanti. Jika selama menjadi pemimpin mengayomi orang-orang yang dipimpinnya, bersedia mendengarkan saran dan kritik membangun, tidak mendzolimi orang, tidak suka menepuk dada, pongah: sombong dan angkuh, maka ia akan selalu dikenang. Pun, bila performa kepemimpinannya sebaliknya, pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di depan Mahkamah Ketuhanan,” kata profesor yang terkenal santun dalam menyampaikan gagasan perubahan di banyak forum ini.
“Problemnya adalah, tak sedikit pemimpin yang merasa jabatannya harus dibela mati-matian. Termasuk, menghalalkan segala cara, seperti merubah aturan periodisasi, yang seharusnya cukup dua periode alias mengenal pembatasan. Bahkan, Presiden sekalipun dibatasi masa jabatannya. Kemudian, dilakukan perubahan menjadi tidak mengenal masa jabatan,” tegas penulis sembari menghela napas panjang.
Jika praktik pelanggengan kekuasaan ini dibiarkan dengan dalih Perguruan Tinggi memiliki hak otonom dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sehingga berakibat fatal pada tertutupnya akses para akademisi, sumber daya manusia (SDM) lain untuk turut menguji kemampuan manajerial dan kepemimpinannya di Perguruan Tinggi, maka akan menjadi preseden buruk bagi kemajuan demokrasi di kampus.
“Maka dari itu, penulis mendorong Mas Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk mencermati dan melakukan ikhtiar sistemik terhadap fenomena kekuasaan yang berpotensi dikapitalisasi di Perguruan Tinggi. Untuk apa? Tentu, agar demokrasi tumbuh subur sehingga para akademisi berlomba nandur kemulyoan (menanam kebaikan) melalui uji kompetensi untuk jabatan bergengsi, Rektor,” pinta penulis sambil berharap Mendikbudristek berkoordinasi dengan DPR dan Presiden serta memberikan garis bawah tebal terhadap substansi dorongan ini.
Alhasil, filosofi pembatasan jabatan itu bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan Kampus, yang kini menjadi harapan satu-satunya dalam mengurai problem kebangsaan agar civitas akademika menjadi lokomotif perubahan melalui hasil riset yang implementatif dan progresif.
Tak terasa, perbincangan memakan waktu hampir empat jaman, Pukul 10.00 hingga 13.45 WIB. Lupa, kalau penulis ada agenda yang telah menanti. Pun dengan Profesor Kasuwi sehingga perbincangan segera kita sudahi. Tamu penulis pun balik kanan, meninggalkan ruang diskusi. (*)
Penulis: Abd. Aziz, S.H., S.Pd.I., M.Pd. (Sekretaris Jenderal GMPK)
Sumber: https://bacamalang.com/demokrasi-di-perguruan-tinggi-terancam/
Baca juga: GMPK Profile